Class, Anyone?




Bisa baca kan tulisan dalam gambar di atas? Saya capture dari thread salah seorang teman di grup. Membacanya, alis saya berkerut. Sebagaimana sering saya lakukan ketika sedang membaca tesis post-graduate yang harus saya terjemahkan, berita tentang fatwa haram MUI, laporan studi banding anggota kewan, keanehan kasus Gereja Yasmin, Filadelfia, dan Ahmadiyah, atau artikel di website Ar Rahmah.

Saya tidak hendak menyerang si penulis secara personal, tapi ada banyak hal yang membuat saya gatal ingin komentar. 

Pertama adalah pendapatnya tentang bergaul dan berteman. Seumur-umur saya numpang hidup di planet Bumi, saya kenal banyak orang hanya demi memenuhi kebutuhan sebagai mahluk sosial, bukan mahluk pekerja. Apalagi mahluk penjaga citra. Tapi jujur saja, saya banyak dapat pekerjaan dari pertemanan. Seringkali saya dapat SMS atau surel dari calon klien yang bilang, “Mbak, saya dapet nomer/alamat ini dari Mas/Mbak Anu, mau minta tolong terjemahin. Rate-nya berapa ya?” Ujung-ujungnya jadi malah sering make jasa saya. Entah karena hasil kerja saya memuaskan atau karena memang nggak ada orang lagi yang bisa ditodong mengerjakan Project Prambanan, menyelesaikan seribu candi dalam semalam. Sampai sini saya boleh menghela napas panjang kan, yaaaa? 

Kedua adalah tentang klasifikasi miskin/kaya. Well, mengutip Chairil, nasib adalah kesunyian masing-masing. Jadi, bisakah saya pukul rata bahwa yang kaya akan jauh lebih bahagia dan senang hidupnya ketimbang mereka yang tak berpunya? Tentu, akan lebih nyaman dan terlindung menangisi kesedihan ditolak calon pacar dalam BMW ketimbang di atas motor bebek butut yang businya sering ngadat. Tapi perihal toleransi rasa sakit, saya rasa jauh lebih getas orang kaya karena hidupnya yang serba dimudahkan membuat ambang sakitnya jauh lebih rendah. Ya itu sih survei asal-asalan saya aja. Boleh percaya, boleh nggak. 

Ketiga, yang paling parah dan yang betul-betul menyasar inti adalah masalah komunikasi. Maafkan jika mungkin akan terdengar panas di telinga, tapi membaca thread tersebut bikin saya pengen maki-maki orangnya langsung karena kecupuannya dalam hal negosiasi. Apalagi bawa-bawa perbedaan kelas segala. Padahal, orang kaya atau orang miskin kan sama-sama manusia, punya otak, punya gaya hidup (meskipun beda-beda), perlu eek dan pengen njajan kalo ada cemilan enak dipajang di etalase toko roti. 

Tapi gini deh. Saya mau cerita aja dulu. 

Klien saya macem-macem. Jelas-jelas lebih berpunya dan bayar pajak penghasilan lebih gede dari saya. Seringnya saya ngerjain semua ‘candi’ itu secara online, invoice dikirim lewat surel dan fee langsung ditransfer ke rekening. Hampir nggak pernah ketemu muka. Bahkan saya punya klien dari tahun 2009 sampai sekarang juga nggak pernah tau mukanya kayak gimana (Halo, Bu Far!). Tapi kalau ada yang minta ketemu, ya saya pilih tempat paling ‘aman’ dan ada di mana-mana: kafe di mall. Karena saya males beli-beli di pusat perbelanjaan seperti itu, sebelum berangkat saya pasti udah makan dulu. Biasanya ya di warung deket kos. Habis itu, kalau saya lagi kere biasanya saya bikin kopi sendiri aja, terus dituang ke dalam tumbler—pemberian dari emak bos tempat saya memburuh dulu—dengan cap dari kafe tersebut biar disangka beli. Hihi. Karena saya merokok, saya akan pilih tempat di luar ruangan. Masuknya juga lewat pintu luar. Jadi, nggak ketahuan bawa ‘kopi haram’ yang luar biasa enak dibanding kopi seduhan mesin. Atau, kalau kliennya sudah kenal lama dan orangnya asik, saya ajak aja ke angkringan tempat saya biasa ngerampok bandwidth. Saya boleh sombong kan sedikit kalau semua itu nggak bakal kejadian kecuali cara komunikasi saya bagus? 

Tapi pegel-pegel ngetik segini banyak bukan itu sih sebenernya yang mau saya omongin. Saya cuma mau bilang bahwa jadi pekerja itu mentang-mentang miskin nggak usah lah nyombong di hadapan pemilik modal. Mereka yang bayar kita, mereka yang punya duit, meskipun secara tawar-tawaran kita dan mereka sama-sama butuh. Permainan yang dimenangkan dengan mutlak adalah ketika kita bermain sesuai aturan lawan dan menang. Jadi, bermainlah sesuai aturan mereka dan menanglah. Menjadi pragmatis dengan cerdas bukan berarti mematikan idealisme. It’s fine kita miskin harta, asal jangan miskin karakter. Nanti jadi dobel apesnya, cuma bisa bangga-banggain kelas yang udah dibela Eyang Marx. Kebanggaan semu tuh. Nggak bisa buat bayar gado-gado, apalagi bayar tunggakan kamar kos. 

Dan mumpung May Day, Selamat Hari Buruh pada semua rekan yang masih harus bekerja. Inget: menanglah dengan mutlak!






Comments

  1. Anonymous11:14 AM

    Ahaaaaa.....
    Pito kelas berapa sekarang ? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. udah kelas dua es de, tante nyunyuuu =P

      Delete

Post a Comment

Wanna lash The Bitch?

Popular posts from this blog

Another Fake Orgasm

Tentang "Dikocok-kocok" dan "Keluar di Dalem"

Belahan Dada, Anyone?